Musik
bambu hampir ditinggalkan masyarakat Ngada, Flores. Padahal setiap harinya,
kegiatan mereka tidak lepas dari bambu, apalagi sebagian pemain musik bambu
menempati rumah adat asli yang dibangun dari bambu (Kampung Wogo). Kebiasaan
mereka pun berkumpul sambil bermain musik, bernyanyi, dan menari. Dahulu,
mereka masih memainkan alat musik bambu secara lengkap untuk berkumpul-kumpul
sekedarnya. Tapi, sekarang ini mereka berkumpul hanya memainkan alat musik
gitar yang bukan berasal dari bambu. Kecuali seruling. Tapi tidak alat musik
bambu lainnya, seperti Kolintang, Bombardom (berfungsi sebagai Bass), Gendang, Voidoa,
dan lainnya yang berasal dari bambu.
Beruntung, tim dari Yayasan Kelola
sebagai pemerhati dan bergerak di bidang seni dan budaya, tak ingin alat musik
bambu di Ngada punah. Generasi muda atau generasi selanjutnya harus dapat
menikmati dan melestarikan alat musik bambu ini. Yayasan Kelola menemukan potensi
seni budaya di Kampung Wogo, Desa Ratugesa dan Desa Malanuza.
Bekerjasama dengan PNPM (Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat) yang juga turut berperan memberikan dana
hibah komunitas kreatif dengan melakukan pendekatan budaya. Program ini
bertujuan meningkatkan pemberdayaan manusia dan keterlibatanya dalam proses
pembangunan desa. Sedangkan Komunitas Kreatif adalah salah satu program Yayasan
Kelola untuk mendorong kelompok marginal menggunakan ekspresi kreatif
menyuarakan aspirasinya.
Menurut Kepala Desa Ratugesa, Bapak
Benedictus Kodo, tingkat kemiskinan di wilayah Ngada-Bajawa masih tinggi dan
timpang. Pendapatan rata-rata sekitar 1 s/d 1.5 juta per bulan/keluarga. Pola
pikir penduduk masih sempit dan kental terhadap budaya lama: Pasrah kepada
alam. Seperti diketahui, tanah Flores termasuk Ngada – Bajawa sangat kaya
dengan hasil alamnya: kemiri, kopra, kopi, cengkeh, jahe, besi (kastela),
jagung, dan lain-lain. Sehingga, mereka tidak terlintas untuk berpikir ke
depan.
Untuk mengenalkan dan menampilkan
alat musik bambu ke luar Ngada-Bajawa dibutuhkan biaya. Alat musik yang dulu
digunakan sudah tidak bisa dimainkan lagi. Sehingga, mereka perlu mengganti
yang baru dengan suara bagus, pembaruan, mreancang ulang dan bongkar pasang.
Bambu berusia sekitar 3 tahun mempunyai
kualitas baik untuk dijadikan alat musik.
Kostum pemain musik, penyanyi, dan
penari. Supaya menarik mata penonton, perlu pakaian penuh warna meriah, kain
tenun khas Flores, pernak-pernik baju dan perhiasan. Semua itu perlu biaya yang tidak sedikit. Urusan
transportasi, makanan saat latihan, dan biaya tak terduga lainnya juga butuh
diperhatikan. Penyebab inilah yang membuat mereka enggan memainkan musik bambu
kembali. Dengan pendapatan yang masih di bawah rata-rata, tidak mudah bagi
mereka untuk berkembang. Kebebasan berseni pun nyaris mati karena sebelumnya
mereka tidak melakukan apa-apa. Entah karena tak ingin atau tidak tahu caranya.
Akhirnya, mereka membuat dan
memberikan proposal kepada Yayasan Kelola yang bekerjasama PNPM. Proposal
mereka pun disetujui sebagai salah satu kelompok masyarakat marjinal penerima
hibah untuk melestarikan, mengembangkan, memperkenalkan, mengekspresikan,
berkreasi, menurunkan ke generasi muda, memberdayakan, dan membudidayakan seni
musik bambu. Bulan October 2015, mereka mulai latihan menuju Festival Musik
Bambu, 10 Maret 2015.
Musik bambu dari Ngada-Bajawa pernah
‘hidup’ di era tahun 90-an. Mengingat masa lalu dan menghadapi masa kini
membuat semua orang yang berpijak di tanah Ngada – Bajawa memiliki harapan.
Dari berbagai sudut harapan mencuat. Dipondasi kecintaan terhadap seni musik
dan tarian, mereka berbicara dengan binar-binar mata antusias dan angan.
Kepala Desa Ratugesa, Bapak Benedictus dan Kepala Desa
Malanuza, Bapak Yohaness, memiliki
harapan yang sama. “Musik bambu harus terus hidup, tidak hanya di desa saja,
kalau perlu sampai dikenal oleh masyarakat Indonesia. Semoga musik bambu mampu
meningkatkan pendapatan ekonomi para pemain dan perkembangan desanya.” Bapak
Benedictus menambahkan,”Dalam suka dan duka harus tetap semangat. Sumber daya
manusianya perlu ditingkatkan dan diberikan wawasan serta pemerataan
pendidikan.”
Harapan dari seorang wanita Ngada – Bajawa, Flores, Ibu
Agustina, pemain musik Kolintang Bambu, “Menyakinkan teman-teman lain untuk
melatih musik bisa menghibur diri dan orang lain. Kelompok ini harus tetap hidup
dan berkembang tanpa melihat dana yang terbatas.”
Para Ibu yang lanjut usia dan pemain seruling bambu
mempunyai harapan sederhana, “menghibur orang lain dan diri sendiri. Terus
membawa keriaan kepada orang-orang.” Bapak Nikolaus Nono, nara sumber seni dan
budaya Ngada, pelatih, pemain musik, bahkan akan terus bermain musik alat bambu
dan melestarikannya sampai nafas terakhir. Seorang Satgas dan para mahasiswa
PKL di Ngada mengakui sangat senang alat musik bambu mengudara kembali. Dan
mereka sangat mendukung seni musik bambu ini.
Sebagai langkah awal, mereka menggelar Festival Musik
Bambu (Festival Bhego li Bheto) bertema “Satu tekad membangun desa”, hari
senin, 10 Maret 2015, di Gereja Paroki, Seminari Mataloko, Balewa, Ngada,
Flores, NTT. Sebuah langkah awal yang cukup sukses, meski sound system tidak bagus, tapi suara dari para penyanyi bisa
terdengar di seluruh ruang dan semangat semua pemain sangat terasa.
Apakah harapan-harapan mereka akan terwujud, bila kita
sebagai rakyat Indonesia tidak mengenal dan memperkenalkan seni dan budaya ini kepada
cakupan yang lebih luas? Dunia harus tahu
betapa indahnya alat musik bambu ini. Dan, kemunculan Yayasan Kelola –dan program
komunitas kreatif, dan PNPM, perlu mendapatkan dukungan dari masyarakat luas. Yayasan
Kelola dan PNPM berharap setelah kegiatan ini, mereka lebih berani menyuarakan
aspirasi dalam berkreasi seni, budaya, yang termasuk program meningkatkan pembangunan
desanya.
Sengaja menempatkan kutipan ini di bagian akhir untuk
menyimpulkan tentang kisah di balik Festival Bhego Li Bheto.
“If art is to nourish the roots of our
culture, society must set the artist free to follow his vision wherever it
takes him.” –John F. Kennedy.
·
Tulisanterkaitsebelumnya:
https://sarinovitamenulis.wordpress.com/2015/03/14/pesta-musik-bambu-di-negeri-flores/
·
Sumber foto: Dok.
Pribadi
·
Sumber Video: Masyarakat Peserta Festival Musik Bambu Komunitas Kreatif - Yayasan Kelola
Tidak ada komentar:
Posting Komentar